Rabu, 30 April 2014

Tugas Softskill Post 5 “Review Jurnal Hukum Perjanjian”


PERLINDUNGAN HUKUM USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM)
DARI DAMPAK ADANYA PERJANJIAN ASEAN-CHINA FREE TRADE
AREA (ACFTA)

Oleh :
Ari Ratna Kurniastuti, Afifah Kusumadara, Setyo Widagdo.

Magister Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum Universitas Brawijawa Malang


Tidak menjadikan hukum nasional sebagai alasan pembenar untuk mengesampingkan suatu perjanjian internasional ataupun menjadi alasan pembenar atas pelanggaran atau kegagalan dalam melaksanakan perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional yaitu "A party may not invoke the provisions of its national law as justification of its failure to perform a treaty", yang diartikan bahwa salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan suatu perjanjian internasional. 

Ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina 1986 ini menjadi salah satu alasan bahwaadanya Permen dan Pergub yang membatasi impor hortikultura ini tidak bisa dibenarkan sebab justru menimbulkan pelanggaran pada  perjanjian internasional yang meliberalisasikan perdagangan yaitu Perjanjian ACFTA atau perjanjian FTA yang lain dan perjanjian WTO. 

Kekuatan mengikat ini didukung dengan pandangan bahwa perjanjian internasional digolongkan sebagai sumber hukum formal yang merupakan treaty contract yang artinya perjanjian internasional sebagaimana kontrak atau perjanjian perdata yang mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ACFTA memenuhi ini sehingga walaupun pembuat perjanjian mengatasnamakan ASEAN tetapi negara anggotanya dapat dikatakan terikat perjanjian ini. 

Negara-negara ketika membentuk suatu organisasi internasional didorong oleh satu tujuan atau objek yang sama, yaitu mereka menghendaki bahwa dalam suatu bidang tertentu mereka tidak usah lagi menjalankan sendiri dan bekerja sendirian akan tetapi diwakili oleh suatu badan (entity) yang tampil atas nama mereka. Alasan keterikatan ini adalah ASEAN sebagai sebuah institusi regional yang telah mengikat secara hukum karena ditandatanganinya ASEAN Charter, yang secara progresif melakukan liberalisasi perdagangan maupun penanaman modal.

ASEAN Charter (Piagam ASEAN) ini ditandatangani tahun 2005 dan disahkan oleh Pemerintah Indonesia dengan UU No. 38 tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations. Piagam ASEAN ini berisikan garis besar haluan kebijakan ASEAN, yang menyebutkan bahwa ASEAN adalah satu kesatuan pasar bebas. Tercantum dalam Pasal 1 ayat (5) Piagam ASEAN.


Kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia secara hierarkis ada di atas Pergub karena perjanjian internasional ini ketika berlaku maka mengikat secara nasional, sedangkan Pergub sifatnya hanya regional. Untuk Permen tidak ada dalam tata urutan perundang-undangan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011 tersebut. Untuk menentukan posisinya dibandingkan Perjanjian ACFTA dapat dianalogikan bahwa secara hirarkis Presiden di atas menteri maka Perpres di atas Permen, sedangkan Perjanjian internasional baik sesuai aliran Monisme maupun Dualisme posisinya di atas Perpres. Oleh karena itu dengan disahkan Perjanjian ACFTA dengan Keppres No. 48 Tahun 2004 yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa perjanjian ACFTA ini berlaku maka kedudukannya diakui pada sistem hukum nasional, sehingga adanya pertentangan dengan Permen dan Perda yang membatasi larangan buah impor untuk memutuskan mana yang lebih berlaku digunakan asas Lex Superior derogat lex inferiori. Dengan diterapkan asas ini maka ini menjadi alasan juga.


Tujuan adanya pergub dan permen sebagaimana dibahas di atas pada dasarnya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap UMKM, tetapi pembuat kebijakan melupakan bahwa ada mekanisme perlindungan yang diatur dalam Artikel XIX GATT- WTO Agreement yang memuat tentang safeguard dari dampak perdagangan bebas yaitn ancaman kerugian serius pada industri lokal. Oleh karena itu perlu dirumuskan perlindungan hukum terhadap UMKM yang ideal sehingga tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah disepakati indonesia tetapi tetap dapat memberikan perlindungan dalam konteks hukum normatif yang maksimal untuk UMKM.Sebelum adanya Perjanjian ACFTA UMKM sudah mendapat perlindungan dengan adanya Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. UU ini mengatur kriteria usaha yang dapat dikatakan sebagai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pemberdayaan dan pengembangan usaha, pembiayaan, kemitraan.  Pengaturan mengenai hal-hal tersebut menunjukkan adanya perlindungan hukum terhadap UMKM. Perlindungan ini didukung dengan peraturan perundangan-undangan lain yang lebih spesifik baik yang setara UU yaitu UU Perbankan, UU Pemerintah Daerah, UU Penanaman Modal dan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau aturan dibawahnya. 


Banyak kendala yang membuat perlindungan UMKM yang sudah ada menjadi tidak masalah, hambatan ini bisa berasal dari peraturan perundang-undangan juga. Pembiayaan UMKm mensyaratkan adanya jaminan dan ini yang menjadikan kendala untuk UMKM mendapatkan modal. Seringkali UMKM tidak dapat memenuhi persayaratan untuk mendapatkan bantuan modal demi mempertahankan usahanya. Sering kali didapati, UMKM Indonesia tidak memiliki laporan keuangan yang sistematis, banyak juga yang tidak ada laporan keuangannya. Hal ini menyulitkan perbankan untuk mempertimbangkan pemberian kredit. Biasanya bank akan menolak kredit yang diajukan UMKM yang tidak memiliki laporan keuangan.


Bank-bank di Indonesia enggan memberikan kredit yang justru dibutuhkan oleh para pelaku usaha untuk menggerakkan roda ekonomi. Bank enggan menyalurkan pada industri tetapi justru untuk sektor konsumsi dan properti dengan alasan resikonya lebih kecil dan pengembaliannya lebih cepat. Pinjaman untuk sektor UMKM sangat tinggi bunganya, kondisi ini menyebabkan deindustrialisasi yang dampaknya sangat berbahaya, karena deindustrialisasi meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia yang berdampak buruk pada kehidupan sosial dan politik serta mengganggu kestabilan makroekonomi.


Perlindungan hukum UMKM dari dampak berlakunya perjanjian ACFTA ini sebenarnya secara umum sudah diatur pula dalam Pasal 3 ayat (8) huruf f Perjanjian ACFTA yang menyebutkan bahwa pengamanan perdagangan dari dampak adanya perjanjian ini adalah mengikuti ketentuan WTO, yang tentu saja Artikel XIX GATT- WTO Agreement. Selain itu adanya perjanjian ACFTA sudah didukung dengan perlindungan hukum yang mengikuti yaitu penurunan tariff dengan kategori produk sensitif yang jangka waktu dan besar penurunannya berbeda dari EHP dan produk normal.  

Produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tariff bea masuk pada tahun 2012 adalah 20% dan akan menjadi 0-5% mulai tahun 2018. Produk sensitif ini antara lain : (1) barang jadi kulit yaitu tas, dompet; (2) Alas kaki yaitu sepatu sport, casual, kulit; (3) Kacamata; (4) Alat Musik yaitu tiup, petik, gesek; (5) Mainan misalnya Boneka; (6) Alat Olah Raga; (7) Alat Tulis; (8) Besi dan Baja; (9) Spare part; (10) Alat angkut; (11) Glokasida dan Alkaloid Nabati; (12) Senyawa Organik; (13) Antibiotik; (14) Kaca; (15)Barang-barang Plastik.Produk nomor 1-7 rata-rata merupakan industri padat karya yang dijalankan oleh UMKM. 
 
          Indonesia memiliki PP No. 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, tetapi belum secara detail mengatur sebagaimana Artikel XIX GATT-WTO Agreement, sehingga perlu adanya UU khusus yang memberikan perlindungan hukum terhadap industri lokal termasuk di dalamnya UMKM dalam bentuk UU dan disesuaikan ketentuan WTO dan kepentingan nasional. Untuk memberikan perlindungan yang berbentuk peraturan perundang- undangan nasional berupa produk hukum diperlukan peran pemerintah. 

Pasal 5 ayat (2) Piagam ASEAN menyebutkan Negara-Negara Anggota wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan, termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai, guna melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Piagam ini secara efektif, dan mematuhi kewajiban-kewajiban keanggotaan.   Pelaksanaan   ASEAN  Charter digantungkan pada masing-masing negara anggota ASEAN sesuai amanat, maka Pemerintah Indonesia perlu membuat aturan pelaksanaan yang sesuai kepentingan nasional berdasarkan UUD 1945.Berdasarkan pasal ini maka sebenarnya Indonesia dapat membuat peraturan nasional sendiri sebagai pelaksanaan perjanjian internasional yang telah disetujui ASEAN termasuk Perjanjian ACFTA, sehingga peraturan yang dibuat disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi nasional tetapi tidak bertentangan dengan perjanjian internasional yang telah disepakati termasuk dalam hal perlindungan kepada industri lokal termasuk UMKM di dalamnya.

Langkah perlindungan lain yang dapat ditempuh adalah kebijakan internal yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian internasional atau hubungan dengan negara lain tetapi tetap dapat membantu memberikan perlindungan hukum pada UMKM akibat adanya perjanjian ACFTA ini dalam bentuk lain misalnya permodalan, sebab modal salah satu pendukung untuk dapat bersaing. Untuk itu diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian kredit/pembiayaan UMKM yang berkepastian hukum. 

         Sampai saat ini belum ada hukum nasional yang dapat mengakomodasi dan menjembatani perbedaan kepentingan ini antara UMKM dan pihak perbankan, sehingga UMKM masih saja kesulitan mendapatkan modal, maka bagaimana dapat  
bersaing dengan produsen dari China. Oleh karena itu perlu perundang-undangan nasional memberikan kemudahan kredit permodalan kepada UKM dengan bunga ringan dan persyaratan perizinan yang mudah sehingga biaya produksi turun maka harga jual akan bersaing dengan produk China. 



Selain kebijakan permodalan, perlindungan hukum lain yang dapat ditempuh adalah dengan penerapan standarisasi nasional barang impor, sehingga SNI tidak hanya lagi menjadi hiasan yang jika tidak dipenuhi tidak ada konsekuensi hukumnya. Standar dalam perdagangan internasional sudah menjadi prasyarat agar suatu produk dapat berkompetisi di pasar global. Negara pengimpor dan konsumen berharap produk yang masuk ke pasar di dalam negerinya dan produk yang konsumen gunakan adalah produk yang berstandar. Untuk negara, produk yang berstandar menyangkut kepentingan umum atau kepentingan publik. Pasalnya, produk itu akan digunakan oleh masyarakatnya. Pemerintah berkewajiban menjaga agar produk yang digunakan atau dikonsumsi penduduknya bebas dari bahaya bagi keselamatan atau kesehatan penduduknya.

Penggunaan SNI secara alamiah memang dapat berdampak terhadap pembatasan perdagangan produk, tujuannya adalah pada dasarnya untuk memastikan bahwa setiap negara memiliki hak kedaulatan untuk menyediakan perlindungan yang maksimal. Dengan diterapkan SNI secara ketat maka tidak ada produk China khususnya yang berbahaya bagi konsumen dan UMKM juga tidak dirugikan akibat kalah bersaing dengan produk impor dari China yang lebih murah tetapi berbahaya. 

Terdapat dua faktor terpuruknya UMKM yaitu internal yang disebabkan dari dalam internal UMKM itu sendiri dan juga faktor eksternal UMKM baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk penghambat dari dalam negeri, salah satunya adalah kurangnya persiapan Pemerintah dalam menghadapi kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan termasuk ACFTA. Sedangkan faktor dari luar negeri salah satunya adalah tidak terbendungnya produk China dengan harga murah, bisa jadi ini salah satu bentuk dumping.

Teori perdagangan bebas juga menyebutkan bahwa melindungi produsen dalam negeri terhadap "dumping" (dumping berkanaan dengan menjual di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dikenakan di dalam negeri), merupakan hal yang diperbolehkan dalam memberikan proteksi perdagangan.

             Dumping ini baik terbukti atau tidak dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap laju pertumbuhan industri produk yang bersangkutan. Tidak  adanya ketentuan anti dumping yang menyeluruh seperti halnya negara lain misalnya Uni Eropa dan AS maka bagi Indonesia timbul kesulitan untuk mengadakan tuduhan kepada negara lain yang melakukan dumping ke Indonesia. Sudah ada PP anti dumping tetapi ini dinilai belum membahas secara komprhensif sebagaimana Uni Eropa dan AS. Pembatasan tindakan bisnis supaya tidak mengarah pada praktek dumping sebaiknya diatur dalam suatu UU yang secara eksplisit memasukkan berbagai tindakan sebagai perbuatan yang dilarang termasuk dumping.

Pada kasus dumping yang dilakukan Korsel dan Taiwan atas serat polister Indonesia, Asosiasi Poliester Indonesia (API) menyampaikan keberatan kepada Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, dan cara penyelesaian kasusnya melalui jalur Kadin masing- masing negara.

Pengalaman tersebut di atas menandakan bahwa pengaturan dumping yang bersifat parsial tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur sebagaimana yang dilakukan oleh negara lain yang mempunyai ketentuan antidumping yang didasarkan pada ketentuang GATT-WTO Agreement yang dituangkan dalam UU Nasional.

Dari uraian di atas tampak bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum representatif melindungi UMKM dan belum terpenuhi unsur kepastian hukum sehingga perlindungan hukum yang diberikan terhadap UMKM belum maksimal. Oleh karena itu diperlukan Peran aktif pemerintah diharapkan dapat mewujudkan hukum yang representatif dalam pembangunan ekonomi yaitu hukum yang berkepastian sehingga dapat memberikan perlindungan hukum preventif maupun represif secara substansi maka diperlukan peran aktif pemerintah.


Dalam membentuk perlindungan hukum ideal terhadap UMKM dari dampak adanya Perjanjian ACFTA, pemerintah perlu memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan 5 syarat hukum yang kondusif untuk pembangunan ekonomi yaitu pertama adalah stability bahwa hukum menjaga keseimbangan dan berlaku sama di hadapan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Yang kedua predictability yaitu akibat suatu hukum dapat diprediksi ke depannya. Hal ini penting bagi semua pelaku ekonomi. Yang ketiga fairness atau yang dapat disamakan dengan keadilan yaitu persamaan di depan hukum dan standar sikap pemerintah diperlukan untuk memelihara mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan, adil untuk semua pihak dalam pembangunan ekonomi. Yang keempat adalah educative artinya bermuatan pendidikan. Dan yang kelima atau terakhir adalah transparency sehingga aturan hukum dapat diketahui oleh seluruh pihak, berlaku sama bagi semua pihak dan dapat diramalkan akibat hukumnya.  

       Perlindungan hukum yang ideal terhadap UMKM dari dampak berlakunya perjanjian ACFTA adalah pertama safeguard adalah poin penting dalam perlindungan hukum industri lokal termasuk UMKM sehingga sebaiknya artikel XIX GATT-WTO Agreement ini ditransformasikan pada sebuah UU sebagai payung hukum atas perlindungan kepada industri lokal. Kedua yaitu Perbaikan regulasi pemberiaan kredit/pembiayaan terhadap industri lokal, termasuk UMKM di dalamnya, sehingga ada dukungan secara hukum juga untuk bersaing pada era perdagangan bebas akibat Indonesia menjadi anggota WTO atau karena keikutsertaan Indonesia dalam beberapa perjanjian FTA. Ketiga adalah adanya koreksi atas perda atau permen yang bertujuan proteksi terhadap industri lokal secara umum maupun UMKM yang bertentangan dengan perjanjian internasional termasuk ACFTA. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya peraturan proteksi yang bertentangan dengan perjanjian internasional lagi sebab ada model proteksi sesuai artikel XIX GATT-WTO Agreement. 

Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal :



Daeng dan Rika. Menggugat Perjanjian Kerjasama ASEAN-China, Global Justice Update,

Tahun ke 7/Edisi ke - 4 Desember 2009.

Daeng, Jebakan ASEAN dalam Komitmen Ambisius 2010, Free Trade Watch : Mewujudkan

Keadilan Ekonomi, Volume III/Edisi Oktober 2010.

Daeng, Menyoal Pelanggaran Konstitusi dalam ACFTA, Free Trade Watch : Mewujudkan
Keadilan Ekonomi, Volume I/Edisi April 2011.
Damos Dumoli Agusman.Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teori dan Praktik
Indonesia). Bandung : Refika Aditama, 2010.
I Wayan Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional (Bagian 1). Bandung : Mandar Maju,
2002.
_______________ Hukum Perjanjian Internasional (Bagian 2). Bandung : Mandar Maju,
2005.
Ina Primiana. Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri. Bandung : Alfabeta, 2009.
Indah Suksmaningsih. Kaidah Internasional dalam Hukum Indonesia : Peluang yang Tidak
Dimanfaatkan, Global Justice Update, Tahun ke 7/Edisi ke - 4 Desember 2009.
Johnny Ibrahim. Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum : Teori dan Implikasi Penerapannya
dalam Penegakan Hukum. Surabaya : CV. Putra Media Nusantara & ITS Press, 2009.
_____________ Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayu Media
Publishing, 2010.
Keraf, A. Sonny.Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya.Yogyakarta : Kanisius, 1998.
Lopez Rodriguez Ana Mercedes. Lex Mercatoria. School of Law, Departement of Private
Law University of Aarhus, 2002.
Mansour Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2001.
Mikhael Dua. Filsafat Ekonomi : Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama. Yogyakarta :
Kanisius, 2008.
Mohammad Sood. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2011.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.

Salvatore, Dominick. Ekonomi Internasional. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1995.
Sihombing, Jonker. Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi. Bandung : PT.
Alumni, 2000.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Rajawali Pers,
1985.
Sri Rejeki Hartono. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang : Bayumedia, 2007.
Sukarmi. Regulasi Anti di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas. Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
T. May Rudy.Hukum Internasional 1.Bandung : Refika Aditama, 2006.
___________ Hukum Internasional 2. Bandung : Refika Aditama, 2009.

Internet dan Surat Kabar

Abdul Rosid, Modul Manajemen UKM : UKM di Indonesia dan Peranan UKM,
pksm.mercubuana.ac.id/new/.../files.../31013-3-478126269633.doc,       diakses
tanggal 8 Mei 2012
Afifah Kusumadara, The Role of Law in Indonesian Economic Development, hlm.18 - 21
http://karyatulishukum.files.wordpress.com/2011/06/secured-kedudukan-
hukum-sbg-alat-pembangunan-ekonomi.pdf, diakses tanggal 1 Maret 2013
Amrie Hakim, Dasar Hukum Pemberlakuan ACFTA, http://www.hukumonline.com
/klinik/detail/lt4b04bef2aa8ee/dasar-hukum-pemberlakuan-acfta, diakses tanggal
4 Desember 2012
Anggi       H,        Produk      China      vs       Produk      Lokal,       12       November       2012,
http://anggih91.wordpress.com/2012/11/12/produk-china-vs-produk-lokal/,
diakses tanggal 25 Desember 2012.
bn/ko, ACFTA Ancam Empat Industri Padat Karya, Surabaya Pagi, 28 Januari 2010, hlm.
10 kolom 4-5
Departemen Perdagangan, agustus 2005, http://www.ditjenkpi.go.id, diakses tanggal 13
Maret 2013.
Fatkhurrrohman Taufiq, Tempo interaktif, 2 Maret 2012, Jawa Timur Larang Impor
Hortikultura,   http://www.tempo.co/read/news/2012/03/02/180387611/Jawa-
Timur-Larang-Impor-Hortikultura, diakses tanggal 7 Maret 2013
Huala, Adolf, Labelisasi Standar dalam Menyikapi ACFTA, http://korantempo.com/
korantempo/koran/2010/10/01/Opini/krn.20101001.213309, diakses tanggal
12 Maret 2013
Hukum Online, Pengujian UU Ratifikasi Piagam ASEAN Kandas, 26 feb 2013,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512cb1408c03e/pengujian-uu-

ratifikasi-piagam-asean-kandas, diakses 26 maret 2013

Ibnu Purna, Hamidi, Prima, ACFTA sebagai Tantangan Menuju Perekonomian yang Kompetitif,

http://www.setneg.go.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=4375&I

temid=29, diakses tanggal 7 Mei 2012

Inggried Dwi Wedhaswary, Produk China "Bombardir" Indonesia. Apa Kabar Produk Lokal,

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/09/10134596/Produk.China.
Bombardir. Indonesia.Apa.Kabar.Produk.Lokal, diakses tanggal 28 Mei 2012
Jn, Masalah yang Dihadapi dalam Pemberian Kredit Perbankan, Surabaya Pagi, 18 Februari
2011, hlm. 19, kolom 2-3
Mohd. Burhan Tsani. Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum
Nasional Republik Indonesia (dalam prespektif Hukum Tata Negara)
http://damosdumoli.blogspot.com/2009/03/status-hukum-internasionaldan_12.html, diakses tanggal 11 Januari 2013.
Wikipedia, Perdagangan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan, diakses tanggal 20 Mei
2012
World Trade Organization, Trading into the Future : Introduction to the WTO. Beyond the
Agreements. Regionalism - Friends or Rivals?, hlm.1 http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e /tif_e/bey_e.htm, diakses tanggal 8 Mei 2012.

Peraturan Perundang-undangan :

Kovensi Wina 1986
Artikel I GATT-WTO Agreement
Pasal 3 artikel XXIV GATT-WTO Agreement
Piagam ASEAN
Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South
East Asian Nations And The People's Republic Of China
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.011/2012 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA


Nama Kelompok :
1.      Kartika Ratna Sari W (24212934)
2.      Septa Skundarian (26212921)
3.      Shintya Permatasari ( 26212989)


 



 
 
 

 





 

0 komentar: