Rabu, 30 April 2014
Tugas Softskill Post 5 “Review Jurnal Hukum Perjanjian”
PERLINDUNGAN HUKUM USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM)
DARI DAMPAK ADANYA PERJANJIAN ASEAN-CHINA FREE TRADE
AREA (ACFTA)
Oleh :
Ari
Ratna Kurniastuti, Afifah Kusumadara, Setyo Widagdo.
Magister
Ilmu Hukum (S2) Fakultas Hukum Universitas Brawijawa Malang
Tidak menjadikan hukum nasional sebagai alasan pembenar
untuk mengesampingkan suatu perjanjian internasional ataupun
menjadi alasan pembenar atas pelanggaran atau kegagalan dalam melaksanakan
perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 Konvensi Wina 1986
tentang Hukum Perjanjian Internasional
yaitu "A party may not invoke the provisions of its national law as
justification of its failure to perform a treaty", yang diartikan
bahwa salah satu pihak tidak boleh menjadikan
ketentuan dalam hukum nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan suatu perjanjian
internasional.
Ketentuan Pasal 27 Konvensi Wina 1986 ini menjadi
salah satu alasan bahwaadanya Permen dan
Pergub yang membatasi impor hortikultura ini tidak bisa dibenarkan sebab justru menimbulkan pelanggaran pada perjanjian internasional yang meliberalisasikan
perdagangan yaitu Perjanjian ACFTA atau perjanjian FTA yang lain dan perjanjian WTO.
Kekuatan mengikat ini didukung
dengan pandangan bahwa perjanjian internasional
digolongkan sebagai sumber hukum formal yang merupakan treaty contract yang
artinya perjanjian internasional sebagaimana kontrak atau perjanjian perdata
yang mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian ACFTA memenuhi ini sehingga walaupun pembuat perjanjian
mengatasnamakan ASEAN tetapi negara anggotanya
dapat dikatakan terikat perjanjian ini.
Negara-negara ketika membentuk suatu organisasi
internasional didorong oleh satu tujuan
atau objek yang sama, yaitu mereka menghendaki bahwa dalam suatu bidang tertentu
mereka tidak usah lagi menjalankan sendiri dan bekerja sendirian akan tetapi
diwakili oleh suatu badan (entity) yang tampil atas nama mereka. Alasan
keterikatan ini adalah ASEAN sebagai sebuah
institusi regional yang telah mengikat secara hukum karena
ditandatanganinya ASEAN Charter, yang secara progresif melakukan
liberalisasi perdagangan maupun penanaman
modal.
ASEAN
Charter (Piagam ASEAN) ini ditandatangani tahun 2005 dan disahkan oleh
Pemerintah Indonesia dengan UU No. 38 tahun 2008 Tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations. Piagam ASEAN ini berisikan garis besar haluan kebijakan ASEAN, yang menyebutkan bahwa
ASEAN adalah satu kesatuan pasar bebas. Tercantum dalam Pasal 1 ayat (5) Piagam
ASEAN.
Kedudukan perjanjian internasional dalam sistem hukum
Indonesia secara hierarkis ada di atas Pergub karena perjanjian internasional
ini ketika berlaku maka mengikat secara
nasional, sedangkan Pergub sifatnya hanya regional. Untuk Permen tidak ada dalam tata urutan perundang-undangan sesuai dengan UU
No. 12 Tahun 2011 tersebut. Untuk
menentukan posisinya dibandingkan Perjanjian ACFTA dapat dianalogikan bahwa secara hirarkis Presiden di atas
menteri maka Perpres di atas Permen,
sedangkan Perjanjian internasional baik sesuai aliran Monisme maupun Dualisme posisinya di atas Perpres. Oleh karena itu
dengan disahkan Perjanjian ACFTA dengan Keppres No. 48
Tahun 2004 yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya bahwa perjanjian ACFTA
ini berlaku maka kedudukannya diakui pada sistem hukum nasional, sehingga adanya pertentangan dengan Permen dan Perda yang
membatasi larangan buah impor untuk memutuskan mana yang lebih berlaku
digunakan asas Lex Superior derogat lex
inferiori. Dengan diterapkan asas
ini maka ini menjadi alasan juga.
Tujuan adanya pergub dan permen sebagaimana dibahas
di atas pada dasarnya adalah memberikan perlindungan hukum terhadap UMKM,
tetapi pembuat kebijakan melupakan bahwa ada mekanisme perlindungan yang diatur
dalam Artikel XIX GATT- WTO Agreement yang memuat tentang safeguard
dari dampak perdagangan bebas yaitn ancaman
kerugian serius pada industri lokal. Oleh karena itu perlu dirumuskan perlindungan
hukum terhadap UMKM yang ideal sehingga tidak bertentangan dengan perjanjian
internasional yang telah disepakati indonesia tetapi tetap dapat memberikan perlindungan dalam konteks hukum normatif yang
maksimal untuk UMKM.Sebelum adanya Perjanjian
ACFTA UMKM sudah mendapat perlindungan dengan adanya Undang-undang No. 20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. UU ini mengatur kriteria usaha
yang dapat dikatakan sebagai Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah, pemberdayaan dan pengembangan usaha, pembiayaan, kemitraan. Pengaturan mengenai hal-hal tersebut menunjukkan
adanya perlindungan hukum terhadap UMKM. Perlindungan ini didukung dengan
peraturan perundangan-undangan lain yang
lebih spesifik baik yang setara UU yaitu UU Perbankan, UU Pemerintah Daerah,
UU Penanaman Modal dan UU Antimonopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau aturan dibawahnya.
Banyak
kendala yang membuat perlindungan UMKM yang sudah ada menjadi tidak masalah, hambatan ini bisa berasal dari
peraturan perundang-undangan juga. Pembiayaan UMKm mensyaratkan adanya
jaminan dan ini yang menjadikan kendala untuk
UMKM mendapatkan modal. Seringkali UMKM tidak dapat memenuhi persayaratan untuk mendapatkan bantuan modal demi
mempertahankan usahanya. Sering kali
didapati, UMKM Indonesia tidak memiliki laporan keuangan yang sistematis, banyak
juga yang tidak ada laporan keuangannya. Hal ini menyulitkan perbankan untuk mempertimbangkan pemberian kredit. Biasanya bank
akan menolak kredit yang diajukan UMKM yang tidak memiliki laporan keuangan.
Bank-bank di Indonesia enggan memberikan kredit yang
justru dibutuhkan oleh para pelaku usaha untuk menggerakkan
roda ekonomi. Bank enggan menyalurkan pada industri tetapi justru untuk sektor
konsumsi dan properti dengan alasan resikonya lebih kecil dan pengembaliannya
lebih cepat. Pinjaman untuk sektor UMKM sangat tinggi bunganya, kondisi ini menyebabkan deindustrialisasi yang dampaknya
sangat berbahaya, karena
deindustrialisasi meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia yang berdampak buruk pada kehidupan sosial dan politik
serta mengganggu kestabilan makroekonomi.
Perlindungan hukum UMKM dari dampak berlakunya
perjanjian ACFTA ini sebenarnya secara umum sudah diatur pula dalam Pasal 3
ayat (8) huruf f Perjanjian ACFTA yang
menyebutkan bahwa pengamanan perdagangan dari dampak adanya perjanjian
ini adalah mengikuti ketentuan WTO, yang tentu saja Artikel XIX GATT- WTO Agreement. Selain itu adanya perjanjian
ACFTA sudah didukung dengan perlindungan
hukum yang mengikuti yaitu penurunan tariff dengan kategori produk
sensitif yang jangka waktu dan besar penurunannya berbeda dari EHP dan produk normal.
Produk-produk
dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan
penjadwalan bahwa maksimun tariff bea masuk pada tahun 2012 adalah 20% dan akan menjadi 0-5% mulai tahun 2018.
Produk sensitif ini antara lain : (1) barang
jadi kulit yaitu tas, dompet; (2) Alas kaki yaitu sepatu sport, casual, kulit; (3) Kacamata; (4)
Alat Musik yaitu tiup, petik, gesek; (5) Mainan misalnya Boneka; (6) Alat Olah Raga; (7) Alat Tulis; (8) Besi dan Baja; (9)
Spare part; (10) Alat angkut; (11) Glokasida dan Alkaloid Nabati; (12) Senyawa
Organik; (13) Antibiotik; (14) Kaca; (15)Barang-barang
Plastik.Produk nomor 1-7 rata-rata merupakan industri padat karya yang dijalankan oleh UMKM.
Indonesia
memiliki PP No. 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti Dumping, Tindakan Imbalan
dan Tindakan Pengamanan Perdagangan, tetapi belum secara detail mengatur
sebagaimana Artikel XIX GATT-WTO Agreement, sehingga perlu adanya UU khusus yang memberikan perlindungan hukum terhadap
industri lokal termasuk di dalamnya UMKM dalam bentuk UU dan disesuaikan
ketentuan WTO dan kepentingan nasional.
Untuk memberikan perlindungan yang berbentuk peraturan perundang- undangan nasional berupa produk hukum diperlukan
peran pemerintah.
Pasal
5 ayat (2) Piagam ASEAN menyebutkan Negara-Negara Anggota wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan,
termasuk pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai, guna melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Piagam ini
secara efektif, dan mematuhi kewajiban-kewajiban keanggotaan.
Pelaksanaan
ASEAN Charter digantungkan
pada masing-masing negara anggota ASEAN sesuai amanat, maka Pemerintah Indonesia perlu membuat aturan
pelaksanaan yang sesuai kepentingan nasional berdasarkan UUD 1945.Berdasarkan
pasal ini maka sebenarnya Indonesia dapat membuat peraturan nasional sendiri
sebagai pelaksanaan perjanjian internasional yang
telah disetujui ASEAN termasuk Perjanjian ACFTA, sehingga peraturan yang dibuat
disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi nasional tetapi tidak bertentangan
dengan perjanjian internasional yang telah disepakati termasuk dalam hal
perlindungan kepada industri lokal termasuk
UMKM di dalamnya.
Langkah perlindungan lain yang dapat ditempuh adalah
kebijakan internal yang tidak ada kaitannya dengan perjanjian
internasional atau hubungan dengan negara lain tetapi tetap dapat membantu
memberikan perlindungan hukum pada UMKM akibat adanya perjanjian ACFTA ini dalam bentuk lain misalnya permodalan, sebab
modal salah satu pendukung untuk dapat
bersaing. Untuk itu diperlukan adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian kredit/pembiayaan UMKM
yang berkepastian hukum.
Sampai saat ini belum ada
hukum nasional yang dapat mengakomodasi dan menjembatani
perbedaan kepentingan ini antara UMKM dan pihak perbankan, sehingga UMKM masih saja kesulitan mendapatkan modal, maka
bagaimana dapat bersaing dengan produsen dari China. Oleh karena itu
perlu perundang-undangan nasional memberikan kemudahan
kredit permodalan kepada UKM dengan bunga ringan dan persyaratan perizinan yang
mudah sehingga biaya produksi turun maka harga jual akan bersaing dengan produk China.
Selain
kebijakan permodalan, perlindungan hukum lain yang dapat ditempuh adalah dengan
penerapan standarisasi nasional barang impor, sehingga SNI tidak hanya lagi
menjadi hiasan yang jika tidak dipenuhi tidak ada konsekuensi hukumnya. Standar
dalam perdagangan internasional sudah
menjadi prasyarat agar suatu produk dapat berkompetisi di pasar global.
Negara pengimpor dan konsumen berharap produk yang masuk ke pasar di dalam
negerinya dan produk yang konsumen gunakan adalah produk yang berstandar. Untuk negara, produk yang
berstandar menyangkut kepentingan umum atau
kepentingan publik. Pasalnya, produk itu akan digunakan oleh masyarakatnya. Pemerintah berkewajiban menjaga agar produk yang
digunakan atau dikonsumsi penduduknya
bebas dari bahaya bagi keselamatan atau kesehatan penduduknya.
Penggunaan SNI secara alamiah
memang dapat berdampak terhadap pembatasan perdagangan
produk, tujuannya adalah pada dasarnya untuk memastikan bahwa setiap negara
memiliki hak kedaulatan untuk menyediakan perlindungan yang maksimal. Dengan diterapkan SNI secara ketat maka
tidak ada produk China khususnya
yang berbahaya bagi konsumen dan UMKM juga tidak dirugikan akibat kalah bersaing dengan produk impor dari China yang lebih
murah tetapi berbahaya.
Terdapat dua faktor terpuruknya UMKM yaitu internal
yang disebabkan dari dalam internal UMKM itu
sendiri dan juga faktor eksternal UMKM baik dari dalam negeri maupun
luar negeri. Untuk penghambat dari dalam negeri, salah satunya adalah kurangnya persiapan Pemerintah dalam menghadapi
kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan termasuk ACFTA.
Sedangkan faktor dari luar negeri salah satunya adalah tidak terbendungnya
produk China dengan harga murah, bisa jadi ini salah satu bentuk dumping.
Teori perdagangan bebas juga menyebutkan bahwa melindungi
produsen dalam negeri terhadap
"dumping" (dumping berkanaan dengan menjual di pasar luar
negeri dengan
harga yang lebih rendah dari harga yang dikenakan di dalam negeri), merupakan hal yang diperbolehkan dalam memberikan proteksi
perdagangan.
Dumping ini baik terbukti
atau tidak dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap laju pertumbuhan industri produk yang bersangkutan. Tidak
adanya ketentuan anti dumping yang menyeluruh seperti halnya
negara lain misalnya Uni Eropa dan AS maka
bagi Indonesia timbul kesulitan untuk mengadakan tuduhan kepada negara lain yang melakukan dumping ke Indonesia. Sudah ada PP
anti dumping tetapi ini dinilai belum
membahas secara komprhensif sebagaimana Uni Eropa dan AS. Pembatasan
tindakan bisnis supaya tidak mengarah pada praktek dumping sebaiknya diatur
dalam suatu UU yang secara eksplisit memasukkan berbagai tindakan sebagai perbuatan yang dilarang termasuk dumping.
Pada kasus dumping yang dilakukan Korsel dan Taiwan atas
serat polister Indonesia, Asosiasi Poliester Indonesia
(API) menyampaikan keberatan kepada Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri, dan cara penyelesaian kasusnya melalui jalur Kadin masing- masing negara.
Pengalaman
tersebut di atas menandakan bahwa pengaturan dumping yang bersifat parsial
tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Sebenarnya kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur sebagaimana yang
dilakukan oleh negara lain yang mempunyai ketentuan antidumping yang didasarkan
pada ketentuang GATT-WTO Agreement yang dituangkan dalam UU Nasional.
Dari
uraian di atas tampak bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum
representatif melindungi UMKM dan belum terpenuhi unsur kepastian hukum
sehingga perlindungan hukum yang diberikan terhadap UMKM belum maksimal. Oleh karena itu diperlukan Peran aktif pemerintah
diharapkan dapat mewujudkan hukum yang representatif dalam pembangunan
ekonomi yaitu hukum yang berkepastian sehingga dapat memberikan perlindungan
hukum preventif maupun represif secara substansi maka diperlukan peran aktif pemerintah.
Dalam
membentuk perlindungan hukum ideal terhadap UMKM dari dampak adanya Perjanjian
ACFTA, pemerintah perlu memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan 5
syarat hukum yang kondusif untuk pembangunan
ekonomi yaitu pertama adalah stability bahwa hukum menjaga keseimbangan dan berlaku sama di hadapan
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Yang kedua
predictability yaitu akibat suatu hukum dapat diprediksi ke depannya. Hal
ini penting bagi semua pelaku ekonomi. Yang ketiga fairness atau
yang dapat disamakan dengan keadilan yaitu persamaan di depan hukum dan standar
sikap pemerintah diperlukan untuk memelihara
mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan, adil untuk semua pihak dalam pembangunan ekonomi. Yang
keempat adalah educative artinya bermuatan pendidikan. Dan
yang kelima atau terakhir adalah transparency sehingga aturan hukum dapat diketahui oleh
seluruh pihak, berlaku sama bagi semua pihak dan dapat diramalkan akibat hukumnya.
Perlindungan hukum yang ideal terhadap UMKM dari dampak
berlakunya perjanjian ACFTA adalah pertama safeguard
adalah poin penting dalam perlindungan hukum industri lokal termasuk UMKM
sehingga sebaiknya artikel XIX GATT-WTO Agreement ini ditransformasikan pada sebuah UU sebagai
payung hukum atas perlindungan kepada
industri lokal. Kedua yaitu Perbaikan regulasi pemberiaan kredit/pembiayaan
terhadap industri lokal, termasuk UMKM di dalamnya, sehingga ada dukungan secara hukum juga untuk bersaing pada era
perdagangan bebas akibat Indonesia menjadi anggota WTO atau karena
keikutsertaan Indonesia dalam beberapa perjanjian FTA. Ketiga adalah adanya
koreksi atas perda atau permen yang bertujuan proteksi
terhadap industri lokal secara umum maupun UMKM yang bertentangan dengan
perjanjian internasional termasuk ACFTA. Hal ini bertujuan untuk mencegah
adanya peraturan proteksi yang bertentangan dengan perjanjian internasional
lagi sebab ada model proteksi sesuai
artikel XIX GATT-WTO Agreement.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal :
Daeng dan Rika.
Menggugat Perjanjian Kerjasama ASEAN-China, Global Justice Update,
Tahun ke 7/Edisi ke - 4 Desember 2009.
Daeng,
Jebakan ASEAN dalam Komitmen Ambisius 2010, Free Trade Watch : Mewujudkan
Keadilan Ekonomi, Volume III/Edisi Oktober 2010.
Daeng, Menyoal
Pelanggaran Konstitusi dalam ACFTA, Free Trade Watch : Mewujudkan
Keadilan Ekonomi, Volume I/Edisi April 2011.
Damos
Dumoli Agusman.Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teori dan Praktik
Indonesia).
Bandung : Refika Aditama, 2010.
I Wayan
Parthiana. Hukum Perjanjian Internasional (Bagian 1). Bandung : Mandar
Maju,
2002.
_______________
Hukum Perjanjian Internasional (Bagian 2). Bandung : Mandar Maju,
2005.
Ina Primiana. Menggerakkan Sektor Riil UKM dan Industri. Bandung
: Alfabeta, 2009.
Indah Suksmaningsih. Kaidah Internasional dalam Hukum Indonesia :
Peluang yang Tidak
Dimanfaatkan,
Global Justice Update, Tahun ke 7/Edisi ke - 4 Desember 2009.
Johnny Ibrahim.
Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum : Teori dan Implikasi Penerapannya
dalam Penegakan Hukum. Surabaya : CV. Putra Media Nusantara & ITS Press, 2009.
_____________
Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang : Bayu Media
Publishing, 2010.
Keraf, A. Sonny.Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya.Yogyakarta
: Kanisius, 1998.
Lopez
Rodriguez Ana Mercedes. Lex Mercatoria. School of Law, Departement of
Private
Law University of Aarhus, 2002.
Mansour Fakih.
Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2001.
Mikhael Dua. Filsafat Ekonomi : Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama.
Yogyakarta :
Kanisius, 2008.
Mohammad Sood.
Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2011.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana, 2005.
Salvatore, Dominick. Ekonomi Internasional. Jakarta : Penerbit
Erlangga, 1995.
Sihombing,
Jonker. Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi. Bandung : PT.
Alumni, 2000.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : Rajawali
Pers,
1985.
Sri Rejeki Hartono. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang : Bayumedia,
2007.
Sukarmi. Regulasi Anti di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas.
Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
T. May Rudy.Hukum Internasional 1.Bandung : Refika Aditama, 2006.
___________ Hukum Internasional 2. Bandung : Refika Aditama,
2009.
Internet dan Surat Kabar
Abdul Rosid, Modul Manajemen UKM : UKM di Indonesia dan Peranan UKM,
pksm.mercubuana.ac.id/new/.../files.../31013-3-478126269633.doc,
diakses
tanggal 8 Mei 2012
Afifah
Kusumadara, The Role of Law in Indonesian Economic Development, hlm.18 -
21
http://karyatulishukum.files.wordpress.com/2011/06/secured-kedudukan-
hukum-sbg-alat-pembangunan-ekonomi.pdf, diakses tanggal 1 Maret 2013
Amrie Hakim, Dasar Hukum Pemberlakuan ACFTA,
http://www.hukumonline.com
/klinik/detail/lt4b04bef2aa8ee/dasar-hukum-pemberlakuan-acfta, diakses tanggal
4 Desember 2012
Anggi
H, Produk
China vs Produk Lokal, 12 November
2012,
http://anggih91.wordpress.com/2012/11/12/produk-china-vs-produk-lokal/,
diakses tanggal 25 Desember 2012.
bn/ko, ACFTA
Ancam Empat Industri Padat Karya, Surabaya Pagi, 28 Januari 2010, hlm.
10 kolom 4-5
Departemen
Perdagangan, agustus 2005, http://www.ditjenkpi.go.id, diakses tanggal
13
Maret 2013.
Fatkhurrrohman Taufiq, Tempo interaktif, 2 Maret 2012, Jawa Timur
Larang Impor
Hortikultura, http://www.tempo.co/read/news/2012/03/02/180387611/Jawa-
Timur-Larang-Impor-Hortikultura, diakses
tanggal 7 Maret 2013
Huala, Adolf,
Labelisasi Standar dalam Menyikapi ACFTA, http://korantempo.com/
korantempo/koran/2010/10/01/Opini/krn.20101001.213309,
diakses tanggal
12 Maret 2013
Hukum
Online, Pengujian UU Ratifikasi Piagam ASEAN Kandas, 26 feb 2013,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt512cb1408c03e/pengujian-uu-
ratifikasi-piagam-asean-kandas,
diakses 26 maret 2013
Ibnu Purna, Hamidi, Prima, ACFTA sebagai Tantangan Menuju
Perekonomian yang Kompetitif,
http://www.setneg.go.id/index.php?option=comcontent&task=view&id=4375&I
temid=29, diakses tanggal 7
Mei 2012
Inggried Dwi Wedhaswary, Produk China "Bombardir"
Indonesia. Apa Kabar Produk Lokal,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/09/10134596/Produk.China.
Bombardir. Indonesia.Apa.Kabar.Produk.Lokal, diakses tanggal 28 Mei 2012
Jn, Masalah
yang Dihadapi dalam Pemberian Kredit Perbankan, Surabaya Pagi, 18 Februari
2011, hlm. 19, kolom 2-3
Mohd. Burhan Tsani.
Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional dalam Hukum
Nasional Republik Indonesia (dalam prespektif Hukum Tata Negara)
http://damosdumoli.blogspot.com/2009/03/status-hukum-internasionaldan_12.html,
diakses tanggal 11 Januari 2013.
Wikipedia,
Perdagangan, http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan, diakses
tanggal 20 Mei
2012
World Trade Organization, Trading into the Future : Introduction to
the WTO. Beyond the
Agreements. Regionalism
- Friends or Rivals?, hlm.1 http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e /tif_e/bey_e.htm, diakses tanggal 8 Mei 2012.
Peraturan Perundang-undangan :
Kovensi Wina 1986
Artikel I GATT-WTO Agreement
Pasal 3 artikel XXIV GATT-WTO Agreement
Piagam ASEAN
Framework
Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of
South
East Asian Nations And The People's Republic Of China
Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.011/2012 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA
Nama
Kelompok :
1. Kartika Ratna Sari W (24212934)
2. Septa Skundarian (26212921)
3. Shintya Permatasari ( 26212989)