Minggu, 13 April 2014
Tugas Softskill Post 3 “Review Jurnal Hukum Perjanjian””
ASPEK HUKUM PERJANJIAN ASURANSI PENUMPANG DALAM PENGANGKUTAN UDARA
(Studi Pada PT
Asuransi Jasa Raharja Cabang Medan)
SHERLY
NOVITASARI SEMBIRING
Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Penumpang Dalam
Pengangkutan Udara Pada
PT Aasuransi Jasa Raharja Cabang Medan
Pasal
2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 menjelaskan bahwa hubungan hukum
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang tercipta antara pembayar iuran dan
penguasa dana. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami dari segi hukum asuransi bahwa, penguasa dana berkedudukan
sebagai penanggung dan pembayar iuran berkedudukan sebagai tertanggung.
Penguasa dana sebagai penanggung memiliki
tanggung jawab dalam bentuk memikul risiko kecelakaan yang mungkin dialami oleh pembayar iuran sebagai tertanggung.
Penguasa dana sebagai penanggung ditentukan dalam Pasal 1 huruf e dan huruf f
pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang.
Menurut ketentuan pasal tersebut,
pertanggungan adalah hubungan hukum antara penanggung, yaitu Perusahaan Negara (menurut Undang-Undang Nomor 19
Prp Tahun 1960 Tentang Perusahaan
Negara), khusus yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk itu, yang bernama
PT Asuransi Jasa Raharja, dan dengan penumpang alat angkutan umum yang sah (tertanggung).
Pembayar
iuran sebagai tertanggung diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Penumpang, yang
menentukan bahwa setiap penumpang yang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat terbang perusahaan
nasional, dan kapal perusahaan
perkapalan/pelayaran nasional, wajib membayar iuran melalui pengusaha/pemilik
perusahaan yang bersangkutan untuk menutup akibat keuangan disebabkan kecelakaan penumpang dalam
perjalanan. Akan tetapi, penumpang kendaraan bermotor umum dalam kota
dibebaskan dari pembayaran iuran wajib. Kendaraan bermotor umum adalah setiap
kendaraan yang digerakan oleh mesin, yang digunakan untuk mengangkut barang
dan/atau orang, dengan memungut bayaran
terhadap orang yang menggunakannya. Berdasarkan ketentuan ini, sudah jelas bahwa yang berkedudukan sebagai
tertanggung adalah setiap penumpang yang sah, yang wajib membayar iuran
melalui perusahaan angkutan yang
bersangkutan, kecuali penumpang angkutan dalam kota.
Pasal
11 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang menentukan bahwa
besarnya pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal kematian, cacat tetap, maksimum penggantian
biaya-biaya perawatan dan pengobatan dokter serta penggantian biaya
penguburan, ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Dalam Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Penumpang, hanya
menjelaskan tentang besarnya jumlah ganti rugi secara persentase saja. Jadi, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ketentuan pemberian jumlah ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965 Tentang Ketentuan- Ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang masih belum konkret atau masih belum secara jelas
diterangkan.
Namun, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
Tentang Angkutan Udara, besarnya jumlah ganti rugi yang akan
diberikan kepada penumpang angkutan udara, sudah secara
jelas tertulis berapa besar rupiahnya. Hal ini dapat kita lihat di dalam Pasal
43 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995
Tentang Angkutan Udara.
Menurut Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1965, jangka waktu tuntutan ganti
kerugian pertanggungan yang diperbolehkan untuk diajukan kepada PT Asuransi
Jasa Raharja setempat dengan atau tanpa perantaraan pengusaha atau pemilik alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan
adalah 6 (enam) bulan sesudah terjadi kecelakaan. Untuk
pembuktian keabsahan suatu tuntutan ganti kerugian pertanggungan, wajib
diserahkan surat-surat bukti, sebagaimana yang
telah ditentukan dalam Pasal 17 berikut ini:
a.
Dalam hal kematian:
(1) Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang
berwenang tentang kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan umum yang bersangkutan, yang mengakibatkan kematian pewaris
penuntut.
(2) Keputusan hakim atau pihak berwajib lain yang
berwenang tentang pewarisan yang
bersangkutan.
(3) Surat-surat keterangan
dokter dan bukti lain yang dianggap perlu untuk pengesahan fakta kematian yang terjadi.
b.
Dalam hal cacat tetap atau cedera:
(1) Proses verbal polisi lalu lintas atau lain yang
berwenang tentang kecelakaan yang
telah terjadi dengan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan, yang cacat/cedera pada penuntut.
(2)
Surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap/cedera yang telah terjadi sebagai akibat kecelakaan tersebut.
(3) Surat bukti lain yang
dianggap perlu untuk pengesahan fakta cacat tetap/cedera
yang terjadi.
Apabila penanggung (Direksi PT Asuransi Jasa Raharja)
telah memperoleh keyakinan tentang keabsahan tuntutan
secara lain dari yang disebutkan di atas, pembayaran
ganti kerugian pertanggungan dapat pula dilakukan berdasarkan surat-surat bukti
dan kenyataan-kenyataan lain (Pasal 17 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Setelah
pembayaran ganti kerugian dilaksanakan, penanggung (Direksi PT Asuransi
Jasa Raharja) tidak mempunyai kewajiban apa pun lagi untuk melakukan pembayaran
selanjutnya (Pasal 18 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965). Dengan kata lain, asuransi sosial kecelakaan penumpang sudah berakhir.
Tidak
semua ganti kerugian atas suatu pertanggungan akan diberikan, adakalanya hak
atas ganti kerugian pertanggungan menjadi gugur, apabila:
a.
Tuntutan pembayaran ganti kerugian pertanggungan tidak diajukan dalam waktu enam bulan setelah terjadinya kecelakaan
yang bersangkutan;
b. Tidak diajukan gugatan
terhadap PT Asuransi Jasa Raharja pada pengadilan perdata yang
berwenang dalam waktu enam bulan, sesudah tuntutan pembayaran ganti kerugian
pertanggungan ditolak secara tertulis oleh
Direksi;
c. Hak atas ganti kerugian pertanggungan tidak
direalisasikan dengan suatu penagihan kepada
PT Asuransi Jasa Raharja atau kepada instansi pemerintah atau pihak lain
yang ditunjuk, dalam waktu tiga bulan setelah hak
tersebut diakui ditetapkan atau disahkan.
Pada dasarnya, pihak PT Jasa Raharja cabang Medan tidak
pernah melakukan penolakan klaim santunan penumpang
angkutan udara terhadap kecelakaan yang terjadi,
apabila hal tersebut telah memenuhi ketentuan yang telah berlaku. Namun, adakalanya
pihak PT Jasa Raharja juga berhak untuk menolak pembayaran ganti kerugian
pertanggungan, selama tertanggung belum cukup membuktikan dirinya sebagai pihak
yang berhak atas pemberian ganti kerugian tersebut, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. PT Jasa Raharja juga dapat menolak pembayaran ganti
kerugian pertanggungan, apabila risiko yang terjadi merupakan salah satu dari
risiko-risiko yang dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat menerima pembayaran santunan ganti
kerugian.
Atas
dasar perjanjian manifest dan atas dasar kebijaksanaan serta rasa duka dari PT
Jasa Raharja, maka PT Jasa Raharja tidak hanya memberikan santunan ganti rugi
kepada pihak yang memiliki tiket sah atas namanya sendiri, melainkan juga
kepada pihak yang memiliki tiket sah bukan atas namanya sendiri juga akan mendapatkan santunan ganti rugi dari pihak PT Jasa
Raharja. Penumpang angkutan udara
yang memakai tiket atas nama orang lain untuk melakukan perjalanan dengan angkutan penerbangan disebut
dengan Pax Manifest. Berdasarkan hal di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa perbedaan nama antara yang
terdapat pada Kartu Tanda Penduduk dengan yang terdapat pada tiket penumpang
angkutan udara, tidak mempunyai pengaruh terhadap asuransi yang akan diberikan
oleh PT Jasa Raharja, tetapi hanya mempunyai pengaruh pada proses check-in
yang dilakukan di dalam bandara, karena petugas bandara akan menyesuaikan
antara nama penumpang yang tertera di Kartu Pengenal dengan nama penumpang yang tertera di tiket.
Daftar Pustaka
Buku-Buku
Ali, A. Hasymi. 2005. Pengantar Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara.
Amirudin dan H. Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian
Hukum.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Arsyad,
Nurhaida. 2002. Asuransi Kecelakaan di Indonesia. Medan: Akademi
Keuangan dan Perbankan "PERBANAS" (A.K.P.
"PERBANAS").
Martono,
H.K. dan Amad Sudiro. 2011. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan
UU RI No. 1 Tahun 2009. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Muhammad,
Abdulkadir. 2003. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
PT Asuransi Jasa Raharja. 2011. Kumpulan Undang-Undang
Jasa Raharja.
Jakarta: PT Asuransi Jasa Raharja.
Purba,
Radiks. 2009. Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara. Jakarta:
Djambatan.
Rastuti, Tuti. 2011. Aspek Hukum Perjanjian Asuransi.
Yogyakarta: Pustaka
Yustisia.
Sastrawidjaja,
Man Suparman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Asuransi, dan Surat
Berharga. Bandung: P.T.
Alumni.
Satria, Salusra. 2003. Pengukuran Kinerja Keuangan
Perusahaan Asuransi
Kerugian di
Indonesia Dengan Analisis Rasio Keuangan "Early Warning System". Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian
Kecelakaan Penumpang
Nama
Kelompok :
1. Kartika Ratna Sari W (24212934)
2. Septa Skundarian (26212921)
3. Shintya Permatasari ( 26212989)
0 komentar:
Posting Komentar